Angklung adalah alat musik tradisional berbahan bambu yang berasal dari Jawa Barat, Indonesia. Alat musik ini tergolong idiofon, yaitu jenis instrumen yang dimainkan dengan cara dipukul, digoyang, atau digesek.
Instrumen mirip angklung juga ditemukan di wilayah Asia Tenggara lain seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Para ahli etnomusikologi memperkirakan angklung telah digunakan di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi.

Alat Musik Angklung Berasal Dari Cerita Rakyat
Asal-usul angklung erat kaitannya dengan budaya pertanian masyarakat Sunda. Konon, suara bambu yang bergemerincing di hutan menginspirasi terciptanya alat musik ini sebagai bagian dari ritual.
Legenda lokal menyebutkan bahwa dewi padi, Dewi Sri, tersentuh oleh suara angklung. Setelah alat musik itu dimainkan, tanaman padi yang semula tak tumbuh akhirnya mulai berkembang subur kembali.
Pada masa Kerajaan Pajajaran, angklung digunakan untuk menyemangati prajurit sebelum berperang. Suara angklung menjadi pemacu semangat saat menghadapi Perang Bubat. Hal ini menandakan peran strategisnya dalam kehidupan masyarakat saat itu.
Asal-usul Nama Angklung
Alat musik angklung menghasilkan suara khas “klung” saat digetarkan. Menciptakan bunyi yang merdu dan menggambarkan kekayaan budaya lokal yang mendalam.
Nama angklung berasal dari bahasa Sunda “angklung-angklungan”, yang menggambarkan gerakan memainkan alat ini. Suaranya yang unik menjadikan angklung sebagai simbol harmoni dalam perbedaan, selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Sunda.
Secara etimologi, “angklung” berasal dari gabungan kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, angklung dimaknai sebagai nada yang pecah tetapi berpadu membentuk harmoni saat dimainkan bersama-sama.
Angklung Terbuat Dari Bambu Hitam Khusus
Alat musik angklung merupakan alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara digoyangkan. Alat musik ini terdiri dari dua hingga empat tabung bambu yang digantung pada sebuah bingkai dan diikat menggunakan tali rotan.
Setiap tabung bambu dipotong dan dibentuk oleh pengrajin ahli untuk menghasilkan nada tertentu. Setiap tabung memiliki ukuran berbeda, menghasilkan nada tinggi atau rendah sesuai ukuran dan ketebalan bambunya.
Bentuk angklung mirip dengan calung, alat musik bambu lainnya. Namun, angklung memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dari alat musik tradisional lainnya di Indonesia.
Bambu yang digunakan untuk membuat angklung adalah bambu hitam khusus. Bambu ini hanya dipanen dua minggu dalam setahun, ketika tonggeret mulai bersuara.
Panen bambu dilakukan dengan cara memotong, setidaknya tiga ruas di atas permukaan tanah. Tujuannya, agar akar bambu tetap tumbuh dan menyebar secara alami.
Ketika bingkai digoyangkan, bambu bergetar dan menghasilkan suara yang khas dan harmonis. Satu angklung hanya menghasilkan satu nada atau akor. Karena itu, dibutuhkan beberapa pemain untuk menciptakan melodi secara bersamaan melalui kerja sama yang selaras.
Jenis-jenis Alat Musik Angklung
Meskipun tidak diketahui pasti kapan pertama kali dibuat, alat musik ini erat kaitannya dengan bambu sebagai bahan utama kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu.
Dalam buku “Dari Angklung Tradisional ke Angklung Modern” karya Rosiadi (2012), disebutkan dua jenis utama angklung, yakni angklung pentatonis dan angklung diatonis. Masing-masing memiliki ciri dan fungsi yang berbeda dalam pertunjukan.
1. Angklung Pentatonis (Tradisional)
Angklung pentatonis menggunakan tangga nada lima nada (pentatonik). Jenis angklung ini biasa dimainkan dalam pertunjukan seni tradisional dan upacara adat yang masih hidup di berbagai daerah di Indonesia.
2. Angklung Diatonis (Modern)
Angklung diatonis mengadopsi tangga nada seperti alat musik Barat. Biasanya digunakan dalam pementasan musik modern atau pendidikan anak. Angklung diatonis disesuaikan dengan usia dan lagu yang akan dimainkan.
Teknik Bermain Angklung
Hingga kini, alat musik angklung masih dimainkan dalam berbagai upacara, termasuk ritual pertanian dan perayaan kedewasaan. Selain itu, angklung juga hadir dalam parade, kegiatan pendidikan, dan sebagai alat diplomasi budaya.
Secara tradisional, angklung dilaras ke tangga nada tritonik (tiga nada) atau tetratonik (empat nada). Dalam perkembangannya, angklung juga mengikuti gaya daerah seperti salendro, madenda, dan degung pentatonik.
Angklung kerap dimainkan bersama gamelan Sunda sebagai pengiring seni tari dan pertunjukan wayang. Harmoni keduanya menciptakan kekayaan musik tradisional khas Jawa Barat yang penuh makna budaya.
Angklung modern biasanya memiliki dua tabung bambu dan menghasilkan satu nada. Tabung panjang menghasilkan nada satu oktaf lebih rendah dari tabung pendeknya, sementara model lainnya menyuarakan akor.
Alat musik angklung dapat digantung berderet di atas rak dan dimainkan oleh satu orang. Dalam format lain, angklung dibagikan ke sekelompok pemain yang masing-masing bertugas memainkan satu nada secara bergantian.
Teknik bermain angklung cukup sederhana. Pemain menggantungkan alat musik ini di antara jari telunjuk dan tengah, lalu menggoyangnya dari kiri ke kanan untuk menghasilkan suara harmonis yang khas.
Melansir dari video YouTube @Kompas.com, memainkan angklung terbilang mudah, tetapi tetap membutuhkan koordinasi. Satu tangan memegang rangkanya, sementara tangan lain menggoyangkan bagian bawah untuk menghasilkan bunyi. Terdapat tiga teknik dasar memainkan angklung. Pertama kurulung (getar), yakni menggoyang angklung terus-menerus menghasilkan suara berkelanjutan. Kedua cetok (sentak), menyentak angklung dengan cepat untuk menghasilkan suara pendek. Ketiga tangkep (tahan), menahan salah satu tabung agar suara hanya keluar dari tabung tertentu.
Dalam sebuah ansambel, angklung menjadi media efektif untuk memperkenalkan lagu daerah sekaligus melatih kerja sama. Hal ini menjadikannya alat diplomasi budaya yang kuat dalam berbagai forum internasional.
Perkembangan Alat Musik Angklung Hingga Diakui Oleh UNESCO
Pada masa penjajahan Belanda, Daeng Soetigna dikenal sebagai “Bapak Angklung”. Pada 1930-an, ia bereksperimen dengan menyetem angklung dalam tangga nada diatonik dan kromatik ala musik Barat.
Eksperimen tersebut memungkinkan angklung memainkan lagu nasional maupun internasional. Hasilnya, alat musik ini kembali populer dan digunakan di sekolah serta pusat kebudayaan di seluruh Indonesia.
Perkembangan angklung berlanjut berkat Udjo Ngalagena, murid Daeng Soetigna, yang mendirikan Saung Angklung Udjo di Bandung pada tahun 1966 sebagai pusat pertunjukan dan edukasi angklung.
Pada 23 Agustus 1968, angklung diakui secara resmi sebagai alat pendidikan musik oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Pengakuan ini menjadi tonggak penting dalam pelestariannya.
Prestasi besar dicapai pada 2010 ketika UNESCO menetapkan alat musik angklung sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan. Pengakuan ini memperkuat posisinya sebagai simbol budaya Indonesia di mata dunia.
Bekerja sama dengan pemerintah dan berbagai kedutaan, Saung Angklung Udjo sering menyelenggarakan pertunjukan kolosal angklung. Ribuan peserta memainkan musik dengan panduan notasi angka dan isyarat tangan Kodály.
Metode ini memudahkan pembelajaran musik bagi anak-anak hingga dewasa. Kesederhanaan dan daya tarik angklung menjadikannya media pengajaran budaya Indonesia yang inklusif dan inspiratif di berbagai negara.
Dr. Meghan Hynson, etnomusikolog dari Universitas San Diego, turut mengulas perkembangan angklung dalam artikel Smithsonian. Ia juga aktif mengajarkan musik dunia melalui program CWM.
Upaya Pelestarian Alat Musik Angklung
Pengetahuan tentang angklung diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Kini, angklung juga mulai diajarkan secara formal di berbagai institusi pendidikan.
Penggunaan angklung dalam pendidikan anak usia dini merupakan langkah melestarikan budaya sekaligus menanamkan kecintaan terhadap warisan bangsa sejak dini. Bermain angklung membutuhkan konsentrasi tinggi, karena anak-anak harus menyesuaikan gerakan dengan nada yang tepat agar menghasilkan suara harmonis.
Saat memainkan angklung, anak menggunakan tangan kiri untuk memegang dan tangan kanan untuk menggoyangkan. Gerakan ini melatih motorik halus dan kemampuan kognitif anak.
Kegiatan bermain angklung juga mengembangkan kemampuan mengenali nada musik, yang penting untuk membentuk sensitivitas musikal sejak usia dini. Selain itu, bermain angklung secara berkelompok melatih anak berkomunikasi, bekerja sama, serta menghargai peran masing-masing dalam menciptakan musik bersama.
Kegiatan ini juga menumbuhkan kepekaan seni, karena anak-anak belajar merasakan dan menghargai pengalaman musikal secara kolektif dalam kelompok. Angklung bukan hanya alat musik, tetapi juga sarana edukatif untuk menanamkan nilai budaya, kreativitas, kerja sama, dan kecerdasan musikal anak sejak dini.
Angklung Mengajarkan Makna Kehidupan
Satu angklung hanya bisa menghasilkan satu nada. Maka, untuk memainkan lagu utuh, dibutuhkan kerja sama banyak pemain dengan angklung berbeda, sehingga menciptakan harmoni melalui kebersamaan.
Filosofi ini mencerminkan kehidupan sosial, dimana setiap individu memiliki peran penting. Jika semuanya saling mendukung, akan tercipta kehidupan yang indah, serasi, dan damai seperti melodi angklung.
Indonesia kaya akan suku, budaya, dan bahasa. Seperti nada-nada angklung yang berbeda tetapi mampu menyatu dalam irama harmonis. Dari alat musik angklung, kita belajar bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan. /endah